Pages

Friday, January 30, 2015

SEJARAH PERANG KEDONGDONG (PERANG RAKYAT CIREBON )DALAM BERBAGAI SUMBER





Perang Kedongdong dan Ki Bagus Rangin yang Terlupakan


Selama ini, sejarah bangsa Indonesia mencatat perjuangan gigih Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah Belanda. Perang yang berlangsung pada 1825 – 1830 itupun, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari perjalanan bangsa dalam mengusir penjajah.

Namun ternyata, di Cirebon, ada perang melawan penjajah Belanda yang telah berlangsung sebelum Perang Diponegoro. Perang itu dikenal masyarakat setempat dengan nama ‘Perang Ke dongdong’. Perang tersebut berlangsung pada 1802 – 1818, dengan tokoh pejuangnya yang bernama Ki Bagus Rangin.

Kala itu, Ki Bagus Rangin melakukan pemberontakan terhadap penjajah Belanda yang membuat sengsara rakyat di Wilayah Cirebon. Ki Bagus Rangin mengobarkan peperangan di sejumlah daerah di Wilayah Cirebon, termasuk Ciebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Bahkan, meluas hingga ke Sumedang dan Subang.

"Perang itu merupakan pemberontakan besar pertama di Pulau Jawa (dalam melawan penjajah Belanda), sebelum Perang Diponegoro," ujar Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat, kepada Republika, Senin (1/9). Perlawanan yang dilancarkan Ki Bagus Rangin sempat membuat pasukan kompeni kewalahan. Apalagi, perjuangan Ki Bagus Rangin mendapat dukungan dari masyarakat luas.

Namun, seperti halnya Pangeran Di ponegoro, perjuangan Ki Bagus Rangin juga berakhir dengan ditangkapnya Ki Bagus Rangin oleh penjajah Belanda pada 1812. Namun, perjuangan Ki Bagus Rangin diteruskan oleh sejumlah kerabatnya hingga akhirnya berhasil dipadamkan pada 1818.

Sultan Sepuh mengatakankan, ketokohan Ki Bagus Rangin dan Perang Kedongdong itu akan ditampilkan dalam rangkaian acara ‘Haul Sunan Gunung Jat’i pada 7 8 Oktober 2014. Kegiatan itu akan dilaksanakan di Keraton Kasepuhan, bersama pula dengan seminar film Sunan Gunung Jati.

"'(Melalui film Kedongdong) masyarakat jadi tahu bahwa di Jabar ada perang yang lebih awal dari perang Di ponegoro," tutur Sultan Sepuh. Sultan Sepuh menambahkan, meski Ki Bagus Rangin menggelorakan perlawanan melawan penjajah di Wilayah Cirebon, namun hanya ada satu jalan yang mengabadikan namanya. Jalan itu adalah Jalan Ki Bagus Rangin di Kota Bandung.

Sultan Sepuh menyatakan, akan memberikan penghargaan kepada walikota Bandung dan masyarakat Bandung secara umum karena telah mengabadikan nama Ki Bagus Rangin menjadi namajalan. Penghargaan itu juga dimaksudkan untuk mempertahankan nama jalan tersebut karena kemungkinan wali kota Bandung pun tidak mengetahui asal-usul nama jalan tersebut. "Supaya nama Jalan Ki Bagus Rangin tidak di ganti," tegas Sultan Sepuh.

Selain menggelar Haul Sunan Gunung Jati, Cirebon juga akan menjadi tuan rumah sejumlah agenda yang menyangkut seni budaya. Diharapkan, ke giatan-kegiatan tersebut mampu mendongkrak dunia pariwisata di Cirebon.

Sultan Sepuh menyebutkan, sejumlah agenda kegiatan itu, di antaranya ada lah Gotrasawala pada 22 25 Okto ber 2014. Dalam kegiatan itu, akan di adakan seminar tentang seni, sejarah dan budaya maupun berbagai pagelaran seni budaya di keraton-keraton yang ada di Cirebon.

Selain itu, pada awal Oktober 2014, akan ada Festival Pesisiran dengan peserta dari Banten, DKI Jakarta, Jabar, Jateng dan Jatim. Acara itu merupakan hasil kerja sama dengan Kementerian Pariwisata. "Cirebon memiliki potensi yang besar dalam bidang pariwisata," ujar Sultan.

Sultan pun berharap, semua agenda kegiatan tersebut mampu lebih men dongkrak pariwisata di Cirebon. Selain itu, dapat lebih mempromosikan kekayaan seni budaya Cirebon ke dunia luar.  rep:lilis sri handayani ed: agus yulianto

Dalam versi yang lain SEJARAH PERANG KEDONDONG


Syahdan, karena menolak tunduk terhadap tekanan pemerintah kolonial Belanda, Pangeran Raja Kanoman memilih melepaskan takhta kesultanan. Haknya sebagai sultan dilepas begitu saja. Putra mahkota Sultan Kanoman IV itu keluar dari keraton, lalu bergabung dengan rakyat Cirebon yang menentang Belanda.

Alhasil, perlawanan rakyat Cirebon dalam menolak pajak paksa yang diterapkan Belanda kian sengit. Di sana-sini terjadi pemberontakan. Belanda kewalahan menghadapinya dan mengalami kerugian yang sangat besar. Secara materiil, sedikitnya Belanda menderita kerugian 150.000,00 Gulden. Ribuan prajuritnya pun tewas.


Untuk meredam pemberontakan itu, Belanda sampai harus menjalin aliansi militer strategis dengan Portugis. Ribuan prajurit Belanda dan Portugis tambahan didatangkan.Mereka diangkut dengan menggunakan enam kapal perang besar dan mendarat di Pelabuhan Muara Jati, Cirebon.

Kedatangan ribuan prajurit tambahan itu, tidak membuat rakyat Cirebon gentar. Pangeran Raja Kanoman itu justru makin menggencarkan perlawanan. Salah satu perang besar sekaligus monumental ialah Perang Kedondong, terjadi si salah satu daerah di Kecamatan Susukan, di perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban jatuh dari kedua belah pihak. Dari pihak rakyat, perang itu dipimpin oleh Raden Bagus Serangin.

Kecamuk Perang Kedondong, bahkan ditulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Buku Van Der Kamp itu, bahkan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ejaan lama 1952. Naskah aslinya ditulis dalam bahasa Belanda dan tersimpan rapi di perpustakaan di Negeri Kincir Angin itu.

Dalam pemberontakan itu, melalui siasat licik Belanda, Pangeran Raja Kanoman tertangkap. Setelah sempat ditahan di benteng Belanda di Batavia (Jakarta), sultan pemberani itu kemudian ditahan di benteng Viktoria, di Ambon, Maluku. Sebelum dibuang ke Ambon, Belanda telah melucuti seluruh gelar darah birunya. Putra mahkota itu dicabut haknya atas takhta sultan di Keraton Kanoman.

Sebagai gantinya, diangkatlah adik Pangeran Raja Kanoman yang kemudian menjadi Sultan Kanoman V, bergelar Sultan Muhammad Iman Udin. Peristiwa bersejarah itu terjadi dalam rentang waktu 1793-1808 masehi, tujuh belas tahun sebelum pecah Perang Diponegoro yang oleh Belanda, disebut sebagai Perang Jawa.

"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan Pangeran Raja Kanoman, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.

Berdasarkan catatan sejarah Keraton Kacirebonan, meski Pangeran Raja Kanoman dibuang ke Ambon, perlawanan rakyat Cirebon justru kian menjadi-jadi. Setiap hari selalu ada penyerangan terhadap prajurit maupun pembakaran rumah-rumah dan bangunan, yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Kota Cirebon.

Belanda makin kewalahan. Para petinggi Belanda memerintahkan agar Pangeran Raja Kanoman dikembalikan ke Cirebon. Melalui para pimpinan pemberontak, Belanda meminta syarat: bila Pangeran Raja Kanoman dikembalikan, pemberontakan dihentikan. Sebagai jalan tengah, status darah biru Pangeran Raja Kanoman dikembalikan. Kendati demikian, dia tak berhak atas kesultanan di Keraton Kanoman.

Belanda memang menepati janjinya. Hak darah biru Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Hanya, putra mahkota itu diminta membuat keraton baru dan kasultanan baru, yang bukan di Keraton Kanoman. Pada 1808, Pangeran Raja Kanoman memilih tinggal di kompleks Gua Sunyaragi di daerah Sentul (kini Jln. By Pass Brigjen Dharsono). Pangeran itu kemudian bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau sering disebut sebagai Sultan Carbon.

Meski menjadi raja, Sultan Carbon tidak pernah memiliki keraton. Dia hidup sederhana bersama istrinya, Ratu Raja Resminingpuri. Sikap tegasnya tetap berlaku, dengan menolak uang pensiun dan seluruh pemberian dari Belanda. Pada 1814, Sultan Carbon mangkat.

Karena putra lelakinya masih berusia lima tahun, bernama Pangeran Raja Madenda, Kesultanan Carbon diwakili (volmak) janda Sultan Carbon, Ratu Raja Resminingpuri. Pada saat itulah, Ratu Raja membangun Keraton Kacirebonan di Pulosaren, tak jauh dari Keraton Kasepuhan dan Kanoman, dengan memanfaatkan uang pensiunan dari Belanda yang selama menjadi Sultan Carbon selalu ditampiknya. Setelah besar, mahkota diserahkan kepada putranya yang bergelar Pangeran Raja Madenda I.
Budy Santosa 15.33


PERANG KEDONDONG TAHUN 1802-1818 Di CIREBON

Dilihat dari lokasinya maka perlawanan petani dibedakan menjadi dua tempat, yaitu di pusat kerajaan dan di pinggiran. Daerah pinggiran biasanya dijadikan basis perlawanan. Namun, aliansi dua lokasi terjadi karena keduanya saling tergantung dalam memimpin dan mengalokasikan kekuatan menghadapi penguasa. Selain itu, konflik di dalam istana terus berkembang ke luar dan pecah sebagai gerakan pemberontakan petani di pedesaan. Pemberontakan rakyat Cirebon 1802-1818 merupakan ekspresi ketidakpuasan petani dalam bentuk gerakan pemberontakan yang meluas dari pusat kerajaan ke pedesaan.
Protes sosial para petani Cirebon terjadi di daerah pertanian. Para petani merasa dirugikan oleh orang-orang Cina dan residen. Oleh karena itu, mereka melakukan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial dan mengadakan pembunuhan terhadap orang-orang Cina. Permasalahan kehidupan sosial-ekonomi yang lama terpendam dan buruk ini, Sistem persewaan desa dan penarikan pajak, memunculkan pemerasan oleh residen dan orang Cina, merupakan salah satu pemicu timbulnya pemberontakan rakyat Cirebon.
 akhirnya melahirkan kekuatan perlawanan menjadi besar dengan skalanya yang luas.

Tahun 1802-1818 adalah waktu terjadinya rentetan pemberontakan, yang meletus pertama kali tahun 1802 dan berakhir tahun 1818. Pemberontakan tidak terjadi setiap tahun, namun ada dua periode pemberontakan besar yaitu tahun 1802-1812 pemberontakan dipimpin oleh  Rangin dan periode tahun 1816-1818 pemberontakan dipimpin oleh  Jabin dan Nairem.
 Bersama para pengikutnya Bagus Rangin melakukan pemberontakan di Cirebon, bahkan sampai meluas ke luar karesidenan Cirebon. Dalam perjalanannya selanjutnya, Bagus Rangin hendak mendirikan negara Panca Tengah dan mengangkat dirinya sebagai raja dimulai dari tahun 1802
Gerakan pemberontakan ini menemui kegagalan setelah Bagus Rangin dan para pengikutnya ditangkap oleh pemerintah kolonial pada tahun 1812.
 gerakan pemberontakan rakyat Cirebon ini sempat muncul kembali di bawah pemimpin lainnya, yaitu pemberontakan tahun 1816 di bawah pimpinan Jabin (seorang ketua gerombolan  dan pemberontakan tahun 1818 di bawah pimpinan Nairem.
Dan hal ini serentak dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya hal tersebut maka hampir seluruh wilayah bergerak bertahap menghimpun kekuatan. Rangin (islam) dan serrit (islam) dari jatitujuh, Wariem (nonislam/kejawen) dan Ujar (islam) dari Biyawak, Sakti dan Kondur (nonislam/kejawen) dan jabin (islam) dari waringin, Rontui (nonmuslim/kejawen) dari Sindanghaji ( Rajagaluh ), Nairem/ narijem (islam) dan Samun (islam) dan ronodwiwongso (nonislam/kejawen) dari Baruang Kulon, Bana (nonislam/kejawen) yang menjadi Sekretaris Rangin dari Baruang Wetan,Sindung (nonislam/kejawen), cangga (islam) dari Sumber, Arsitem (islam) dari Loyang, Suara (islam) dari Bantarjati, Sanda (nonislam/kejawen) dari Pamayahan, Narim (islam) dari Leles, Jamani (islam) dari Depok, Demang Penangan (islam) dari Kandanghaur, Demang Wargagupita (nonislam/ kejawen) dari Kuningan, Wargamanggale (islam) dari Cikao, Wirasraya (islam) dari Manis, Jurangprawira (islam) dari Linggarjati, Jayasasmita (islam) dari Ciminding, Jangbaya (nonislam/kejawen) dari Luragung, Harmanis (islam) dari Cikao, Anggasraya (non islam) dari Timbang, Demang Jaya prawata (islam) dari Nagarawangi, Demang Angon Klangon (islam) dari Weru, Ingabei Marta Manggala (islam) dari Pagebangan, Demang Jayapratala (nonislam/kejawen) dari Sukasari.

Peta persembunyian dan markas perlawanan: Jatitujuh, waringin, Baruang Kulon, Bantarjati, Pamayahan, Depok,Ciminding, sumber, gegunung, watubelah, Nagarawangi, Pagebangan, Sukasari. Sindanghaji ,Peta pergerakannya:

Majalengka,sungai cimanuk,indramayu,karawang,subang,plered,palimanan (di pusat distrik belanda)dan susukan wilayah desa kedondong,maka disebut perang kedondongTempat makam para perlawanan:
Di desa getasan depok makam dawa dan makam gaman (makam gaman2nya para perlawanan)tempat makan rangin,di pecung tempat makam jabin
Di sumber watubelah makam keramat buyut sawen tempat makam cangga,makam dawa kembar tempat makam ingabei dan nairem/narijem,makam ki kertamenggala kuburan angon klangon dan sindung dan makam gaman balong watubelah (makam gaman2nya para perlawanan)
"Perang Diponegoro itu dipicu persoalan pribadi, karena Belanda memasang patok di makam raja-raja Mataram. Kalau pemberontakan rakyat Cirebon yang melibatkan rakyat dengan ketidak puasan monopoli dan paksa sewa pesawahan dan kebun Serta paksaan pajak yang tinggi, memunculkan pemerasan oleh residen dan orang Cina, itu murni perlawanan rakyat terhadap penindasan Belanda. Putra mahkota itu menolak menjadi sultan, karena tidak mau tunduk kepada Belanda yang menarik pajak paksa kepada rakyat Cirebon. Akan tetapi, kenapa yang tercatat dalam sejarah nasional, hanya Perang Diponegoro? Perang Cirebon seolah-olah hanya menjadi sejarah lokal," kata Dadang Kusnandar, budayawan dan pemerhati sejarah Cirebon.


Literatur
Pemberontakan 1818 cetakan idayu
Perlawanan perang kedondong versi angdidi

 

CERITA RAKYAT TENTANG BAGUS RANGIN

Diceritakan oleh informan bahwa ada seorang dalang dari Beber yang bernama Sabdani, yang mendalang dengan lakon cerita Bagus Rangin. Informan itu mendengar pada saat mereka menonton wayang ketika waktu kecil di klenteng-klenteng di daerah Jatiwangi. Tokoh Bagus Rangin muncul dalam cerita wayang Babad Bantar Jati, yang menceritakan Pangeran Kornel yang membantu ...Belanda dalam memberantas kaum pemberontak yang dikepalai Bagus Rangin. Bagus Rangin adalah pemberontak yang memihak kepada rakyat. Bagus Rangin memusatkan strateginya di Jati Tujuh di Bantar Jati yang sekarang sudah menjadi kecamatan. Desa itu dinamakan Jati Tujuh karena memang disana ada pohon jati berjumlah tujuh. Karena memihak rakyat inilah Bagus Rangin dianggap sebagai pemberontak.

 Pangeran Kornel memihak kepada Belanda berhadapan dengan Bagus Rangin. Karena terdesak, Bagus Rangin mundur dari Bantar Jati menuju Panongan, Wanasalam, Salawana, Cibogo dan sebagainya. Karena terdesak, ada salah satu pengikut Bagus Rangin yang tertangkap dan dipenggal kepalanya oleh pasukan Pangeran Kornel. Namun, yang terjadi adalah kepala pengikut Bagus Rangin berubah menjadi kepala ikan Odong (ikan gabus). Bagus Rangin terus mundur tetapi tidak pernah tertangkap dan tidak pernah menyerah. Bagus Rangin selalu mendapat dukungan dari masyarakat yang dilaluinya. Bahkan masyarakat dengan sukarela menyembunyikannya apabila terjadi bahaya. Perlindungan yang diberikan Bagus Rangin bahkan sampai ke Indramayu. Akan tetapi atas perintah dari Belanda, Sultan-Sultan Cirebon beserta Pangeran Kornel mencari dan melawan Bagus Rangin, bahkan sempat dikepung. Namun karena saktinya Bagus Rangin selalu bisa mengelak dan luput dari pengejarannya. Pertempuran besar pernah pula terjadi di daerah Kadongdong, di daerah Indramayu. Alasan Bagus Rangin memberontak terhadap pemerintahan Hindia Belanda karena rakyat kelaparan dan pemerintah Hindia Belanda bertindak sewenang-wenang. Rakyat marah dan berontak. Bagus Rangin dianggap pemimpinnya. Jadi sebenarnya yang memberontak bukan Bagus Rangin, tetapi rakyat Cirebonlah yang memberontak. Pada saat timbul paceklik dan tidak ada yang membela rakyat inilah muncul seorang pemimpin yang mendapat dukungan dari rakyat. Dimana pun Bagus Rangin berada selalu mendapat dukungan dari rakyat. Bahkan rakyat pun melindunginya ketika dilakukan pengejaran untuk menangkapnya. Wajarlah bila Bagus Rangin ini tidak dapat ditangkap dan tidak mau menyerah. Menurut dongeng orang-orang Bantar Jati, Bagus Rangin wafat dan dimakamkan di makam di desa Depok di Jatiwangi. ( DAENDELS DALAM NASKAH DAN CERITA RAKYAT : Cerita yang berkaitan dengan Daendels di Pantai Utara Jawa ) Oleh : Djoko Marihandono
SELAMA ini, kebanyakan masyarakat Cirebon hanya mengetahui adanya Perang Diponegoro (1925-1930), Perang Padri (1803-1838) ataupun perang lainnya yang terjadi di daerah lain. Akan tetapi, jarang orang tahu bahwa rakyat Cirebon pernah melakukan perlawanan terhadap penjajah. Saya pun menelusuri peristiwa bersejarah yang puncaknya terjadi di tahun 1818 itu. Berbekal wawancara dengan beberapa narasumber dan data dari beberapa buku, inilah sekelumit sejarah Perang Kedongdong

Perlawanan rakyat Cirebon terhadap penjajah terjadi karena Belanda menerapkan peraturan yang sewenang-wenang. Beberapa catatan menyebutkan, pemicu meletusnya perang tersebut adalah karena penangkapan Pangeran Raja Kanoman dan penerapan sistem landrente (pajak tanah) yang menyengsarakan rakyat.

Seperti diketahui, pada tahun 1798, Sultan Anom IV wafat. Terjadilah pergolakan tentang penggantinya. Kompeni pun turut campur dalam menentukan penggantinya. Kebanyakan rakyat menghendaki sang putra mahkota, Pangeran Suryanegara (Pangeran Raja Kanoman) menjadi sultan. Tapi Kompeni lebih memilih adiknya, Pangeran Surantaka. Peristiwa tersebut telah mengobarkan api dalam sekam. Di saat VOC dilikuidasi oleh Belanda pada 31 Desember 1799, huru-hara sebagai bentuk perlawanan rakyat pun terjadi di mana-mana, puncaknya terjadi pada tahun 1802. 


Tahun 1805, Pangeran Raja Kanoman pun diundang untuk datang ke Batavia (pusat kekuasaan Kompeni) untuk berunding. Tetapi, setibanya di Batavia, dia ditangkap dan diasingkan ke benteng Viktoria, Ambon.  Rakyat Cirebon tidak terima. Sekitar 1.000-an orang melakukan aksi long march dari Cirebon ke Batavia dengan beberapa tuntutan, salah satunya agar Pangeran Raja Kanoman dibebaskan. Aksi yang diceritakan dikomandoi para kyai tersebut bisa diredam oleh Belanda dengan beberapa kesepakatan. Diantaranya mengembalikan Pangeran Raja Kanoman dan mengangkatnya menjadi sultan. Dengan catatan, dia harus membuat keraton baru, tidak boleh menempati Keraton Kanoman. 

Meskipun demikian, api perlawanan rakyat Cirebon tidak sepenuhnya padam, bahkan semakin membara. Setahun kemudian, 1806, menurut laporan Residen Cirebon, Servatius, terjadi pemberontakan rakyat dengan membakar semua pabrik gula dan tanaman tebu. Pergolakan dipicu oleh kebijakan persewaan desa yang menyebabkan penderitaan dan beban berat rakyat. Dalam praktik persewaan desa, para tuan tanah yang membebankan pajak. Tuan tanah itu adalah mereka para pengusaha swasta kaya yang diberikan hak menyewa desa. Disebutkan kebanyakan mereka adalah orang-orang Cina.

Perlu diketahui bahwa di tahun-tahun itu, menurut Pramoedya Ananta Toer, di negaranya sendiri, Belanda sedang menghadapi masalah pelik. Belanda berada di tengah pusaran perang di tanah Eropa. Pun akhirnya, Belanda telah berada di bawah kekuasaan Perancis sejak 1795. Sehubungan dengan sentralisasi kekuasaan yang semakin besar, maka Napoleon Bonaparte -Sang Penguasa Prancis- mengangkat adiknya, Louis Bonaparte sebagai penguasa Belanda pada tahun 1806. Dan pada tahun 1808, Louis mengirim Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia untuk menjadi gubernur jendral (1808-1811).

Sejarawan Inggris, Ricklefs, mengatakan bahwa Daendels datang ke Jawa dengan membawa semangat pembaharuan dan kediktatoran yang sebenarnya membawa pada sedikit hasil dan banyak perlawanan. Dia memiliki perasaan tidak suka terhadap gaya feodal para penguasa Jawa di daerah yang dikuasai Belanda. Baginya, mereka bukan pemimpin melainkan pegawai administrasi Belanda.  

Bulan Februari 1809, pemberontakan memuncak karena Daendels mengeluarkan peraturan tentang pengaturan tanah-tanah Cirebon. Dalam peraturan itu juga disebutkan bahwa sultan ditempatkan sebagai pegawai Belanda. Pelawanan rakyat melawan kolonial terjadi di Palimanan dan sekitarnya, Kandanghaur, Distrik Blandong, Kedongdong dan Majalengka. Pemimpin perlawanan tersebut yang dikenal yakni Bagus Rangin, Bagus Jabin, Nairem dan Bagus Serit.

Pemberontakan yang dipimpin Bagus Rangin dan pemberontakan lainnya yang dilakukan di daerah-daerah terhadap penjajah pun berlanjut hingga Daendels (Belanda-Prancis) mengakhiri jabatannya sebagai gubernur jendral di tahun 1811 dan digantikan oleh Gubernur Jendral Raffles (Inggris). Pergantian dilakukan beberapa saat setelah di Eropa, Inggris berhasil mengalahkan Belanda-Prancis. Setahun kemudian, tahun 1812, Bagus Rangin dan pengikutnya diberitakan ditangkap. Tapi banyak juga yang mengatakan bahwa kabar tersebut tidak benar, Bagus Rangin tidak pernah tertangkap dan terus melancarkan gerilyanya.

Tahun 1813, sebagaimana disebutkan dalam buku Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20, Raffles menghapus Kesultanan Cirebon. Dia beranggapan, perlawanan rakyat Cirebon kepada kolonial karena merosotnya kedudukan sultan-sultan Cirebon akibat tindakan kolonial. Kebijakan tersebut malah menjadi faktor tambahan yang mendorong rakyat Cirebon terus melakukan perlawanan. Tahun 1816, Bagus Jabin memimpin gerakan perlawanan di Indramayu dengan pusat gerakan di Kandanghaur. Kemudian dia bergerak ke Launmalang Desa Lagun. Kelompok ini disebut pemerintah kolonial sebagai kelompok Begal Jabin. Bagus Jabin juga membuat kerusuhan di Distrik Blandong.

Gerakan perlawanan yang dilakukan rakyat Cirebon tersebut dilakukan secara terus-menerus dengan strategi gerilya. Strategi tersebut terbukti ampuh dan memporak-porandakan pemerintahan kolonial di atas bumi Cirebon. Puncaknya, pada tahun 1818, gerakan perlawanan rakyat Cirebon berada di pusat simpulnya yakni di Kedongdong Kecamatan Susukan. Perlawanan terjadi di Januari-Februari dan Juli-Agustus 1818. Dalam buku Bâban Kâna disebutkan bahwa banyak perwira dari pihak kolonial yang tewas saat perang yang melibatkan para kyai dan santri tersebut. Di antara mereka yang tewas adalah Letnan van Hooorn, Letnan Wessel dan Kapten Kalberg. Assisten Residen Cirebon, Heydenreich pun turut menjadi korban dalam peperangan tersebut.

Demikian sekelumit sejarah perlawanan rakyat Cirebon melawan penjajah yang berhasil berhasil dihimpun. Dengan segala keterbatasan, tentunya ini tidak sempurna. Tapi di dalamnya mengandung harapan agar peristiwa heroik yang pernah terjadi di Cirebon dan sekitarnya bisa diketahui khalayak. Sebagai bentuk penghargaan kepada para pahlawan dan syuhada, sekaligus upaya menanamkan jiwa kepahlawanan itu pada setiap manusia Indonesia yang merdeka. ***

Perang Kedongdong Bukti Heroisme Pa


Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah nasional. Pertempuran tersebut terjadi di Kedongdong (1753-1773), tujuh belas tahun sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan Perang Jawa.

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin dan serba kesulitan. Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda.

Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah kolonial Belanda. Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung bersama rakyat untuk melakukan perlawanan.

Di bawah pimpinan sang pangeran, semangat rakyat semakin membara sehingga pemberontakan sengit terjadi di mana-mana. Pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang tersebut.

Dalam keadaan putus asa Menghadapi perlawanan rakyat di bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan, bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis yang berada di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.

Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan pasukan Belanda, yang di dukung oleh kekuatan tentara portugis di Pelabuhan Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat perlawanan mereka semakin menjadi. Pertempuran besar-besaran terjadi di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan. Dalam pertempuran tersebut ribuan nyawa melayang, baik di pihak rakyat maupun Belanda.

Setelah menjalani pertempuran selama dua puluh tahun (1753-1773), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi perlawanan rakyat secara frontal. Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.

Akhirnya dengan segala tipu dayanya yang licik, Belanda dapat menangkap Pangeran Kanoman tersebut. Belandapun menahannya di Batavia, kemudian mengasingkannya di Benteng Victoria Ambon. Bukan itu saja, Belanda juga mencabut gelar dan hak kebangsawanan Pangeran Kanoman. Setelah ditangkapnya sang pangeran, perlawanan rakyat semakin melemah. Sedikit demi sedikit pasukan Belanda berhasil menguasai pertempuran.

Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda. Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda, baik harta maupun nyawa itu, telah ditulis dalam sebuah kisah naratif oleh seorang prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Tulisan asli Van Der Kamp saat ini tersimpan di Perpustakaan Nasional Belanda.

Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun Cut Nyak Dien. Karena itu sudah sepantasnya pertempuran tersebut di catat dalam sejarah sebagai pertempuran yang bersifat nasional bukan hanya sekedar pertempuran masyarakat lokal. (ysg)

Ribuan Suhada Gugur Dalam Perang Kedondong

Cirebon, press3g.com- Ketua Pengasuh Pondok Pesantren Muallimin-Muallimat, Babakan Ciwaringin, Cirebon, KH. Zamzami Amin mengatakan, Cirebon mempunyai sejarah panjang dalam melawan bangsa penjajah. Dibandingkan dengan perang Diponegoro yang terjadi pada tahun 1825-1830, perang di daerah Cirebon lebih dari seratus tahun dan dikenal dengan nama perang kedondong di daerah Babakan Ciwaringin.
“Dalam perang kedongdong itu masyarakat, para santri dan pengurus ponpes turut berjuang, berperang melawan penjajah. Ribuan para suhada gugur dalam pertempuran membela sang saka merah putih” jelas Kyai Zamzami kepada wartawan seusai mengikuti diskusi pelurusan, pengungkapan tentang sejarah Cirebon yang peteng (gelap). di kantor redaksi media local Fajar Cirebon, belum lama ini.
Menurutnya, sejarah ini perlu di angkat,  peran pondok pesantren sangat besar dalam turut membangun Cirebon, khususnya Kabupaten Cirebon dan sekitarnya.
Peteng artinya, belum banyak yang tahu alias terputus  dalam sejarah, yaitu ketika zaman colonial penjajahan bangsa asing seperti, Belanda dan Inggris ketika datang ke Cirebon.
Hadir dalam diskusi, sejarawan Cirebon, pemerhati, Dosen IAIN Cirebon, tokoh PB NU, perwakilan Keraton Kacirebonan, perwakilan pondok pesantren Jagasatru, pesantren Buntet, pesantren Kempek. (RICO DR)


No comments:

Post a Comment